Download ebook KAREN
KAREN
By:Syamsul Arifin
Published on 2017-04-10 by UMMPress
Aku bahkan sudah lupa cara menuliskan nama tokoh utama yang pernah kuhadirkan secara bersambung dalam Facebookku: apakah ditulis KaRen atau KaRens? Hanya yang kuingat, aku berhenti pada cerita ke-36. Bagi seorang penulis pemula, amatiran, atau baru dalam tahapan belajar, menulis sebanyak itu, bisa dikatakan merupakan jumlah yang lumayan. Aku tidak menulis rangkaian cerita bertajuk Karen setiap hari. Kesibukan dan mood merupakan dua faktor yang sangat berpengaruh dalam memulai dan menyelesaikan satu episode cerita. Edisi Karen sebanyak itu diselesaikan dalam tempo 3 bulan. Dari sisi waktu, tidak bisa dibandingkan dengan novelis tenar, katakanlah Tere Liye. Berdasarkan pelacakan di media daring, Tere Liye mengaku, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk satu novel sekitar 720 jam atau 1 bulan. Untuk ukuran kecepatan, Tere Liye sepertinya mengalahkan Dewi Lestari Simangunsong, atau yang memopulerkan dirinya dengan Dee saja. Siapa yang tidak kenal Dee yang telah menelorkan banyak novel. Satu di antaranya bertajuk Supernova. Satu karya Dee yang paling kusukai adalah Fillosofi Kopi yang diliris pertama kali pada 2006. Pada 2015 versi film Filosofi Kopi diliris. Tidak sempat menonton melalui layar lebar di gedung bioskop, beruntung aku bisa menikmatinya melalui audio and video on demand dalam penerbangan dengan Garuda dari Surabaya- Jakarta. Karya Dee lainnya yang dikoleksi anakku yang kedua, Mega, bertajuk Perahu Kertas. Nah, novel ini diselesaikan oleh Dee selama 60 hari atau 2 bulan. Alih-alih Karen bisa diwujudkan menjadi sebuah buku yang kemudian dipajang di rak toko buku, bersanding dengan karya sastra lainnya, seperti kutulis di atas, aku malah menghentikannya ketika Karen sampai pada seri ke-36, bahkan tanpa memmerdulikan kelanjutan cerita berikutnya. Sempat terpikir ingin melanjutkan seri ke-37 dan seterusnya.Tetapi sia-sia belaka karena tidak lama setelah rehat dari Karen, aku memutuskan melakukan deactivate terhadap akun Facebookku yang telah berjasa dalam memopulerkan cerita Karen. Hendak ditulis dimana lagi Karen itu? Pelan-pelan, dan sejalan dengan kesibukanku yang justru kian bertambah, kendati aku sulit melupakan Karen, pada akhirnya aku betul-betul berada pada suatu titik nadir. Mungkin boleh dikatakan, Karen merupakan proyek, yang kalau tidak gagal, setidaknya masih jauh dari berhasil kalau key perfomance indicator-nya adalah publikasi dalam bentuk buku (novel). Namun apa kuasaku melarang terhadap satu-dua orang, atau bisa lebih yang mengajak ngobrol kelanjutan Karen jika bertemu denganku. “Pak, bagaimana kelanjutan Hisyam dalam cerita Karen dulu itu?” Aku sama sekali tidak menyangka diberondong dengan pertanyaan semacam itu oleh seorang kawan. Kawanku, sebut saja Andin, yang juga menjadi kawan saat aku aktif di Facebook. Sebagai kawan, wajar kalau cerita tentang Karen sesekali diikuti. Ketertarikan Andin pada Karen kian melonjak begitu aku tambahkan tokoh baru bernama Hisyam. Aku tidak lagi bisa mengingat peran yang dilakoni oleh tokoh bernama Hisyam itu. Wajar Andin selalu mengingat Hisyam Karena secara kebetulan, Hisyam kata Andin adalah nama anaknya. “Kok tidak dilanjutkan lagi cerita Hisyam itu?” Tanya Andin. “Facebook sudah deactivate,” jawabku singkat. Kawan di Facebook tidak sedikit yang kaget karena aku merambah dunia tulis-menulis yang berbeda dengan tulisanku yang biasanya akademis, atau setidaknya ilmiah populer. Sementara gaya tulisan dalam cerita Karen lebih renyah dan mengalir. Kok bisa? Kalau saja aku tidak diperjumpakan dan mengenal seseorang, Karen tidak mungkin muncul. Jadi, cerita tentang Karen itu terinspirasi oleh kisah nyata atau based on true story. Aku tertarik pada pergulatannya dalam memahami makna cinta, dan pada akhirnya menemukan apa yang dicarinya setelah melewati jalan berkelok dan terjal. Dan dalam proses pencarian itu, sebagaimana yang selalu dihadapi oleh setiap manusia, selalu ada “drama”. Gejolak sebagai akibat dari munculnya kejadian yang sebenarnya tidak kita inginkan, itulah drama. Karen sebenarnya cermin kita. Atau, Karen adalah representasi dari kehidupan kita. Drama dalam kehidupan Karen, berawal dari munculnya perasaan paling primitif dalam kehidupan manusia ini, yang pada fase-fase berikutnya bisa disebut dengan cinta. Adakah di antara kita yang tidak memiliki perasaan cinta? Kita bisa saja merujuk pada beragam literatur sekedar mengurai tipologi perasaan cinta yang muncul pada diri kita dan orang lain. Pernahkah Anda mengalami apa yang dalam literatur filsafat disebut dengan “cinta Platonik”? Yakni, cinta yang disifati dengan pemikiran filsuf yang menjadi muridnya Socrates dan gurunya Aristoteles, yaitu Plato. Plato merupakan filsuf Yunani yang dikenal sebagai peletak dasar idealisme. Alih-alih wujud empirik yang inderawi sebagai kenyataan, justru ide, tegas Plato. Cinta, sederhananya bisa diartikan, munculnya perasaan tertarik disertai keinginan merajut hubungan yang intim dengan orang lain. Lalu Platonik, karena yang senyatanya adalah ide, maka “cinta Platonik, ya cinta dalam arti sesederhanya itu, tetapi (jadi ada tetapinya) tidak ingin dilanjutkan pada keintiman secara fisik. Bisa dikatakan, mencintai (orang lain) sebatas pemikiran atau ide. Cinta semacam ini, “cinta Platonik”, mungkin jarang dijumpai karena biasanya orang “memburu” apa yang disebut dalam mitologi Yunani dengan “eros”, suatu perburuan yang pada akhirnya berujung pada kemelekatan dan kemenyatuan secara fisik dalam suatu biduk rumah tangga. “Eros” memang belum ideal. Ada ungkapan lagi yang disebut dengan “agape” yang bisa dipahami dari pemikiran filsuf Prancis, Gabriel Marcel, tentang “kekitaan” yang dibangun melalui dialektika antara “aku” dan “engkau”. Semangat “kekitaan” melampaui fisik, “eros”. Jika dalam Islam ada “mawaddah wa rahmah”, maka “kekitaan” itu, ya “warahmah” itu. Karen remaja, tepatnya ketika masih di bangku SLTA, sebagaimana lazimnya remaja pada umumnya, bertaut bahkan begitu mendalam dengan seorang remaja, yang katanya lebih berpenampilan “selenge’an”, tidak begitu “ganteng”, dengan postur badan jamaknya orang Indonesia: tidak pendek dan tidak tinggi. Yana, begitu nama yang disebut oleh Karen. Begitulah rahasia cinta. Perwujudan cinta Karen, seperti yang dituturkan padaku, memenuhi semua unsur fundamental cinta: care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (penghargaan), dan knowledge (pengetahuan). Sintesis dari semua unsur fundamental itu adalah kesetiaan. Karen kehabisan kata-kata ketika diminta mendeskripsikan perwujudan kesetiaan. Lalu air mata yang berjatuhan. Kesetiaan Karen tidak berbuah manis menjadi “eros” dan “agape”. Karen harus merelakan orang yang disikapi dengan penuh kesetiaan, mewujudkan “eros” dengan perempuan lain. Inilah drama itu! Cinta tidak bisa dipaksanakan, bahkan oleh orang tua sekalipun yang darinya limpahan cinta yang begitu mengalir jernih. Karen tidak hanya bersitenggang dengan kedua orang tuanya yang coba memperjumpakan Karen dengan pria lain, begitu Karen melewati fase pertama dengan seorang remaja yang masih satu sekolah dengannya. Ketegangan dengan kedua orang tua adalah fase kedua dalam hidup Karen. Seingatku, cerita Karen yang berhenti pada seri ke-36, telah sampai pada cerita itu. Lalu kelanjutannya? Facebookku terlanjur deactivate. Pada Karen seri ke-36 yang selesai kutulis pada 1 September 2013, Minggu dini hari, aku menambahkan kalimat seperti ini: “Cerita tentang Karen yang terinspirasi oleh kisah nyata seseorang untuk sementara berhenti pada seri ke-36. Kepada narasumber Karen, aku merasa berhutang budi, karena itu layak diberi ucapan terima kasih secara tulus. Ucapan terima kasih juga ingin kusampaikan kepada teman-teman FB yang rajin berkomentar. Menulis Karen merupakan caraku menjelajahi dunia rasa”. Eureka! Setelah tidak tersentuh selama hampir 4 tahun, akhirnya Karen bisa diterbitkan. Aku ingin berterima kasih kepada banyak pihak yang mendukung penerbitan novel ini. Tanpa menguragi apresiasi kepada banyak pihak yang telah berkontribusi, aku ingin menyebut tiga orang saja. Dua orang pertama yang ingin kusebut adalah I’an dan Dew. I’an telah memberikan koreksi terhadap beberapa kesalahan teknis. Lalu, Dew, mahasiswaku pada program pascasarjana, sangat antusias dengan naskah yang kusodorkan sebelum Dew berangkat untuk mengikuti Erasmus Mundus Programme di Spanyol. Di sela-sela kesibukannya mengikuti program ini, Dew menyempatkan membaca dan memberikan koreksi, bahkan Dew menyumbang puisi bertajuk, Incredible Love yang disertakan dalam novel ini.Kemudian yang kedua, aku ingin mengulang ucapan terima kasih yang tulus kepada nara sumber novel ini yang kulekatkan kepadanya sebuah nama imajinatif, Karen. Kalau saja Karen tidak bertutur secara mengalir, tentu pada beberapa episode kehidupan yang dinarasikan menggugah emosi, lalu air mata tumpah, novel ini tidak akan lahir. Di sela-sela kesibukannya yang lumayan padat, baik karena menunaikan tugas publik maupun domestik, Karen bahkan masih mau menyediakan waktunya untuk memberikan sentuhan kepada novel ini. Hasil koreksi dan revisi terhadap novel ini, tidak diserahkan kala situasi normal. Karen harus menerobos hujan yang lumayan deras. Bukan hanya koreksi yang ditujukan kepada kesalahan-kesalahan yang bersifat teknis, tetapi juga kepada substansi cerita. Karen, misalnya, menghapus nama-nama yang tidak konsisten dalam melakoni peran.